1. MENIKAHI WANITA HAMIL
Idealnya
seorang laki-laki mengawini seorang yang masih perawan atau status belum nikah,
atau bisa disebut juga dengan janda yang telah putus tali perkawinannya dan
dalam keadan suci. Namun tidak sedikit di masyarakat yang terjadi sebaliknya,
wanita yang dikawini bukan hanya tidak suci lagi, akan tetapi sudah mengandung
atau dalam keadaan hamil. Perkawinan seperti ini dilakukan dalam keadaan
terpaksa. Dari kasus seperti ini timbul beberapa permasalahan. Sahkah akad
nikah yang dilakukan dalam keadaan sang wanita sedang hamil ? Apakah mereka
boleh bekumpul sebagaimana layaknya suami istri dalam perkawinan yang sah ?
Bagaimana status anak yang akan lahir nanti ?
Ada
beberapa pendapat para ulama fiqih, di antaranya Imam Hanafi, Imam Maliki. Imam
Syafi’i dan Imam Hanbali, menurut mereka bahwa perkawinan keduanya sah dan
boleh bercampur sebagaimana suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu
yang menghamilinya dan kemudian ia mengawininya. Namun tetap keduanya dicap
sebagai penzina, dan pendapat para ulama yang mungkin berdasarkan ayat al-Qur’an,
bahwa laki-laki penzina halal menikahi perempuan penzina. Ibnu Hazm berpendapat
bahwa keduanya boleh dikawinkan dan boleh bercampur, dengan ketentuan bila ia
telah bertaubat dan menjalani hukuman dera karena telah berzina. Pendapat ini
berdasarkan hukum yang telah ditetapkan oleh sahabat Nabi, antara lain :
1.
Ketika
Jabir Bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah
berzina, maka beliau berkata :”Boleh mengawinkannya asalkan keduanya telah
bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
2.
Seorang
laki-laki bertanya kepada Abu Bakar ; “Ya Amirul mukminin, putriku telah
dicampuri oleh tamuku, dan aku ingin agar keduanya dikawinkan.” Ketika itu Abu
Bakar memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan dera kepada keduanya
kemudian dikawinkan.
Inilah
bukankah bahwa seseorang yang menghalangi wanita kemudian melaksanakan akad
nikah, masalahnya selesai. Karena mereka telah berdosa melanggar Hukum Allah,
maka mereka wajib bertaubat, yaitu taubat nashuha, istgfar, menyesali
dan menjauhkan diri dari dosa, keduanya mulai hidup bersih tanpa dosa.
Sesungguhnya Allah ta’ala menerima taubat mereka.
Menurut
KHI pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) disebutkan :
1.
Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.
Perkawinan
dengan wanita hamil yang tersebut dalam ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.
Dengan
dilangsungkannya pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Ketentuan
KHI ini merupakan pendekatan komprimistis dengan hukum adat. Pengkompromian itu
ditinjau dari segi kenyataan terjadinya ikhtilaf dalam ajaran fiqih dihubungkan
dengan faktor sosiologis dan psikologis. Dalam hukum adat tersimpul azas :
“Setiap tanaman yang tumbuh di ladang seseorang, dialah pemilik tanaman itu,
walaupun bukan dia yang menanamnya,” Selain itu tujuan utama azas kebolehan
kawin hamil adalah untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti kepada anak
yang dalam kandungan, walaupun anak tersebut statusnya adalah anak zina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar