Rabu, 30 Mei 2012

menikahi wanita hamil


1. MENIKAHI WANITA HAMIL

Idealnya seorang laki-laki mengawini seorang yang masih perawan atau status belum nikah, atau bisa disebut juga dengan janda yang telah putus tali perkawinannya dan dalam keadan suci. Namun tidak sedikit di masyarakat yang terjadi sebaliknya, wanita yang dikawini bukan hanya tidak suci lagi, akan tetapi sudah mengandung atau dalam keadaan hamil. Perkawinan seperti ini dilakukan dalam keadaan terpaksa. Dari kasus seperti ini timbul beberapa permasalahan. Sahkah akad nikah yang dilakukan dalam keadaan sang wanita sedang hamil ? Apakah mereka boleh bekumpul sebagaimana layaknya suami istri dalam perkawinan yang sah ? Bagaimana status anak yang akan lahir nanti ?
Ada beberapa pendapat para ulama fiqih, di antaranya Imam Hanafi, Imam Maliki. Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, menurut mereka bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagaimana suami istri, dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian ia mengawininya. Namun tetap keduanya dicap sebagai penzina, dan pendapat para ulama yang mungkin berdasarkan ayat al-Qur’an, bahwa laki-laki penzina halal menikahi perempuan penzina. Ibnu Hazm berpendapat bahwa keduanya boleh dikawinkan dan boleh bercampur, dengan ketentuan bila ia telah bertaubat dan menjalani hukuman dera karena telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah ditetapkan oleh sahabat Nabi, antara lain :
1.      Ketika Jabir Bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, maka beliau berkata :”Boleh mengawinkannya asalkan keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
2.      Seorang laki-laki bertanya kepada Abu Bakar ; “Ya Amirul mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku ingin agar keduanya dikawinkan.” Ketika itu Abu Bakar memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan dera kepada keduanya kemudian dikawinkan.

Inilah bukankah bahwa seseorang yang menghalangi wanita kemudian melaksanakan akad nikah, masalahnya selesai. Karena mereka telah berdosa melanggar Hukum Allah, maka mereka wajib bertaubat, yaitu taubat nashuha, istgfar, menyesali dan menjauhkan diri dari dosa, keduanya mulai hidup bersih tanpa dosa. Sesungguhnya Allah ta’ala menerima taubat mereka.
Menurut KHI pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) disebutkan :
1.      Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.      Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut dalam ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3.      Dengan dilangsungkannya pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Ketentuan KHI ini merupakan pendekatan komprimistis dengan hukum adat. Pengkompromian itu ditinjau dari segi kenyataan terjadinya ikhtilaf dalam ajaran fiqih dihubungkan dengan faktor sosiologis dan psikologis. Dalam hukum adat tersimpul azas : “Setiap tanaman yang tumbuh di ladang seseorang, dialah pemilik tanaman itu, walaupun bukan dia yang menanamnya,” Selain itu tujuan utama azas kebolehan kawin hamil adalah untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti kepada anak yang dalam kandungan, walaupun anak tersebut statusnya adalah anak zina.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar