1. HIWALAH
Hiwalah
diambil dari kata tahwil yang berarti intiqal (perpindahan). Yang
dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil menjadi tanggungan
muhal ‘alaih.
Rukun
hiwalah adalah :
1.
Adanya
muhil, sebagai pihak yang berhutang.
2.
Adanya
muhal, sebagai pihak yang memberi hutang.
3.
Adanya
muhal ‘alaih, sebagai pihak yang melakukan pembayaran hutang.
4.
Adanya
hutang muhil kepada muhal.
5.
Adanya
sighad.
Islam
membenarkan adanya hiwalah, karena dia diperlukan. Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
مطل الغني ظلم واذا اتبع احد كم علي مليئ فليتبع (رواه البخاري و مسلم
)
Artinya :
“Menunda
pembayaran bagi orang yang mampu adalah kedhaliman. Dan jika salah seorang kamu
diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang kaya dan mampu maka turutlah”. (HR.
Bukhari – Muslim).
Syarat
Sahnya Hiwalah :
1.
Relanya
pihak muhil dan muhal dan tanpa muhal ‘alaih. Hal itu berdasarkan hadist.
Tetapi madzhab Hanafi memerlukan kerelaan dari muhal ‘alaih.
2.
Samanya
kedua hak, baik jenis maupun kadar barang, waktu dan mutu.
3.
Terus
menerus hutangnya (muhil tidak mampu membayar selamanya).
4.
Kedua
hak tersebut diketahui dengan jelas yaitu hutang dan pembayaran.
Apabila
hiwalah telah sah, maka tanggungan muhil gugur. Tetapi bila muhal ‘alaih
meninggal atau bangrut, muhal tidak boleh meminta kembali kepada muhil,
demikian pendapat Jumhur.
Abu
Hanifah, Syarih dan Usman berpendapat boleh kembali kepada muhil jika muhal
‘alaih bangkrut atau meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar